Selasa, 23 Juni 2009

negarawan kita

NEGARAWAN YANG BUKAN NEGARAWAN
Oleh; Iwan Ambo,ST
17 Juni 2009.

Ajang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden semakin dekat, dan bendera perang sudah dikibarkan, peluru Visi Misi masing – masing kandidat pun sudah dilemparkan ke tengah masyarakt. Jargon – jargon yang mengatas namakan kepentingan rakyat kecil semakin membahana ke seluruh penjuru nusantara. Tentunya harapan dari semua ini adalah demi meraih bendera keberpihakan rakyat Indonesia kepada mereka.
Membahas tentang keberpihakan rakyat kepada setiap kandidat, terbersit satu kegelisahan yang cukup menggangu saya. selain penguatan akar rumput yang tidak begitu maksimal, semakin terlihat pula kelemahan setiap kandidat dan unsur Tim suksenya tentang pola penguatan isu yang tidak terpola dan tidak terkontrol yang di lemparkan ke masyarakat pemilih di seluruh wil. NKRI.
Pola penguatan isu yang tidak terpola dan tidak terkontrol perlu untuk sama kita garis bawahi bersama. Mengapa point ini yang menjadi sentral dari sekelumit penulisan kegelisahan saya? Karena jika semuanya kita tidak dicerna begitu dalam dan ikut serta membuktikannya melalui data – data yang valid, persoalan ini bisa berdampak terhadap perkembangan bangsa menuju proses pemerintahan demokrasi yang sesungguhnya, serta juga cenderung akan berdampak terhadap “Mind Set” anak bangsa terhadap para pemimpinnya.
Pemimpin bangsa ini adalah mereka yang secara tidak langsung mendapat pengakuan dari rakyat sebagai seorang negarawan / negarawati. Sedangkan jika kita merujuk ke definisi Negarawan menurut istilah bahasa, bahwa negarawan/I adalah Orang atauSeseorang yang telah memberikan dampak besar terhadap perkembangan dan kemajuan ideology, kemakmuran, kesejahteraan, dan keamanan suatu negara melalui sumbangsih tanaga dan pemikiran tanpa pamrih.
Jika kita menghubungkan kalimat diatas dengan kondisi tiga pasangan negarawan kita yang sedang berkompetisi menuju kursi Presiden dan calon Presiden periode 2009 – 2014, maka apa yang saya sebut sebagai kegelisahan akan muncul dengan sendirinya. Tentunya factor yang paling mendasar adalah dengan ucapan – ucapan mereka di semua media cetak dan elektronik mengenai hal – hal yang pernah mereka berikan untuk Indonesia akhir – akhir ini disetiap forum diskusi. Saling mengklaim antara kebijakan satu dan kebijakan lain saat mereka pernah menjabat sebagai seorang yang berwenang mengeluarkan kebijakan di negeri ini. Tapi yang mengherankan itu hanya diakui dalam tahapan konteks kebijakan – kebijakan yang populis. Dan peran media disini cukup strategis untuk memperluas wacana tersebut. Program acara terus dirancang untuk memperuncing masalah tersebut. Dan kembali saya mengatakan alangkah rendahnya integritas ketiga pasangan negarawan kita ketika parameter mereka dalam memberi sesuatu untuk Indonesia tercinta ini didasari sebuah pengakuan besar dari rakyat. Dimana letak akal sehat mereka ketika kita kembali mengkaji definisi dari NEGARAWAN itu?. Rakyat Indonesia tidak bodoh, rakyat Indonesia tetap masih menyimpan memory yang sangat kuat tentang apa yang telah mereka berikan kepada Indonesia. Baik atau buruknya yang pernah mereka berikan, itu adalah sebuah kenyataan. Sebab jika harus merunut kebelakang lagi secara lebih spesifik bahwa dapat saya katakan bahwa rakyatlah yang meminta mereka meberi sesuatu yang berguna untuk Indonesia ini. Karena mereka adalah orang yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai pemegang mandat pemerintahan.
Dalam kesempatan ini saya ingin mengambil salah satu sample komunitas yang pernah memberikan sumbangsih tenaga dan pikirannya dalam membentuk NKRI ini. Sebut saja TENTARA VETERAN INDONESIA. Sekali lagi saya ingin mengatakan jika seandainya kelompok tentara veteran Indonesia diberikan kesempatan dalam forum untuk berdialog langsung tentang masalah integritas, loyalitas serta totalitas untuk kemajuan Indonesia ini, saya yakin wajah ketiga competitor kita akan merah karena malu. Mengapa hal itu berani saya katakan? Mari kita amati dengan bijaksana, bahwa veteran yang dalam tulisan ini saya sebut sebagai THE REAL NATION OF INDONESIA tidak pernah berteriak di media – media tentang berapa nyawa teman mereka yang hilang pada saat mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa ini. Mereka tidak pernah meminta suatu kedudukan yang eksklusif dinegara ini, mereka tidak pernah meminta pelayanan kesehatan gratis, mereka tidak pernah meminta taraf hidup mereka dan keturunannya diangkat, mereka adalah orang yang mengerti arti sebuah pengorbanan. Seandainya Soekarno, Hatta, Sultan Syahrir, dan R.A. Kartini masih hidup, betapa sedihnya mereka melihat keserakahan, kesombongan, ketamakan serta kekerdilan pola pikir generasinya dalam mengukur derajat keberadaan bangsa ini. Tidakkah mereka terharu akn syair puisi Chairil Anwar tentang KERAWANG BEKASI? ….” Kami tinggal tulang – tulang berserakan yang diliputi debu, kenang, kenanglah kami….dst
Sekecil atau sebesar apapun yang pernah mereka beri tidak patutlah itu menjadi tolak ukur keberhasilan mereka saat pernah terlibat dalam pemerintahan. Bukti yang sangat nyata adalah masih banyaknya saudara kita yang menanggung kemiskinan, pengganguran, serta gejolak social di tengah masyarakat karena ketidak seimbagan kebutuhan hidup. Pola pikir yang Terlalu premature jika perang pengakuan di media – media itu terus dilakukan demi meraih simpati masyarakat dalam menyambut pesta demokrasi 8 juli 2009 nanti.
Sekali lagi saya mengajak rekan – rekan yang telah terjebak dalam persoalan ini, mari kita bercermin tentang arti sebuah Integritas, totalitas serta loyalitas. Jangan pernah kita berteriak tentang seberapa banyak yang telah kita berikan untuk Indonesia karena Indonesia tidak pernah berteriak seberapa banyak yang telah dia berikan untuk kita. Seandainya Indonesia mampu berteriak tentang berapa banyak yang dia beri, mungkin pengakuan para negarawan kita diatas tadi hanya seukuran biji jagung diantara jasa Indonesia yang sebenarnya.
semoga Integritas, totalitas serta loyalitas kita untuk Indonesia tetap terjaga sebagaimana mestinya……WASSALAM…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar