Rabu, 08 Desember 2010

Gasak sigi

Pelantikan Bupati Kabupaten Sigi, Ir Aswadin Randalembah dan Drs Livingstone sango diwarnai aksi demonstrasi oleh Gabungan Masyarakat Anti Korupsi (GASAK), meski demikian prosesi pelantikan tersebut tetap berlangsung lancar.
Puluhan masyarakat yang datang menjelang proses pelantikan tersebut, berorasi di jalan trans Sulawesi tepatnya 100 meter dari gedung DPRD Kabupaten Sigi yang menjadi tempat pelantikan Bupati.

Dalam orasinya, pengunjuk rasa mempertanyakan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri yang menurut mereka hingga pelaksanaan berlangsung tidak jelas statusnya.

"Kami ingin melihat secara langsung SK itu, kami tidak punya kepentingan politik dalam peristiwa ini, kami hanya ingin masyarakat mendapat informasi yang jelas, bukan kabar burung," ujar salah satu pengunjuk rasa.

dalam aksi tersebut sempat terjadi kericuhan ketika mobil dinas Sekretaris Kabupaten Sigi, Andiwan Betalembah melintas di antara demonstran dan Polisi. Oleh demonstran Mobil tersebut dihadang dan dilarang untuk melitas dan beberapa orang diantaranya memukul kaca bagian depan.

Akibatnya, Mobil jenis Honda CRV warna hitam dengan nomor polisi DN 6 M tersebut mengalami keretakan di kaca bagian depan.

Sekitar 1 Jam melakukan orasi, Massa Akhirnya membubarkan diri setelah mendapatkan copyan SK Mendagri mengenai penetapan Bupati Kabupaten Sigi.

Aksi Anarkis kembali terjadi ketika demonstran meninggalkan tempat, beberapa orang peserta aksi kembali melakukan perusakan dengan memukul kaca mobil, kali ini Mobil Dinas milik Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Sigi yang menjadi korban.

Mobil jenis Avansa Dengan Nomor Polisi DN 41 M itu mengalami kerusakan di bagian kaca belakang.

Meski diwarnai dengan beberapa insiden kecil oleh demonstrasi, namun prosesi pelantikan yang berlangsung di Kantor DPRD Sigi tetap berjalan lancar hingga selesai.

beritapalu.com

peringatan sumpah pemuda tahun 2010

Keberingasan di 28 oktober 2010
ketika kibaran merah putih tak memiliki arti

Peringatan hari Sumpah pemuda tahun ini dikota palu propinsi Sulawesi Tengah diperingati oleh sejumlah elemen mahasiswa dan beberapa organisasi kepemudaan yang tergabung dalam gerakan ‘ AMPIBI” ( Aliansi masyarakat peduli bangsa indonesia) siang tadi 28/10/10 dengan menggelar aksi unjuk rasa. Masa aksi yang berjumlah sekitar 300 orang tersebut serta dikomandoi oleh Hamzah Siji mengusung tema “ Kaum Muda Bersatu, Gulingkan SBY dan elit politik busuk”. Aksi yang dimulai sekitar pukul 10.30 WITA di Taman GOR palu akhirnya berakhir ricuh.
Kericuhan bermula ketika masa aksi yang melakukan orasi di depan gedung DPRD Propinsi Sulawesi Tengah, bermaksud masuk menemui para anggota dewan yang saat itu sedang mengelar rapat komisi. Namun barikade aparat keamanan mencoba mengahalangi maksud tersebut. Hingga sekitar pukul 11. 48 WITA kesepakatan tidak tercapai antara tim negoisator para masa aksi dengan aparat keamanan serta pihak anggota DPRD itu sendiri. Kondisi inilah yang memicu kemarahan para peserta aksi. Pasalnya mereka hanya ingin menyampaikan tuntutan mereka mengenai kegagalan pemerintahan dibawah pimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun tidak seorangpun dari wakil DPRD yang ingin menenmui mereka. Hingga beberapa dari peserta aksi meluapkan kemarahannya dengan menusuk serta memecahkan lampu koridor halaman depan gedung DPRD Propinsi Sulawesi Tengah. Aparat kemanan yang melihat kondisi tersebut langsung dengan beringasnya mengejar serta memukul para peserta aksi dengan tidak sepantasnya.
Beberapa dari peserta aksi yang tertangkap menjadi bulan – bulanan oknum aparat keamanan, bahkan sempat terjadi aksi penyaderaan dari aparat keamanan. Kondisi ini semakin memperkeruh keadaan siang itu. Sebab para peserta aksi dengan emosi mencoba meminta teman mereka untk dibebaskan. Ironisnya, para wakil rakyat tersebut keluar nanti pada saat usai aksi kekerasan terjadi. Dengan tidak merasa bersalah, mereka mencoba mendinginkan suasana yang semakin tidak terkendali itu. Namun itupun tidak langsung menunjukan hasil yang maksimal. Masa meminta pertanggung jawaban aparat keamanan dalam hal ini pihak kepolisian atas perlakuan keji mereka kepada beberapa peserta aksi. Bahkan salah seorang peserta aksi sempat mengalami cedera berat dibagian kakinya akibat perlakuan kasar dari oknum aparat keamanan.
Untuk mencairkan suasana siang itu, Wakapolda Sulteng AKBP……, segera mengambil inisiatif dan memerintahkan anak buahnya untuk membebaskan para peserta aksi yang sempat ditahan didalam gedung DPRD Sulteng serta mencoba menjadi mediator antara mahasiswa dengan para anggota dewan yang hadir ditengah masa yang sedang emosi..
Disaksikan oleh sejumlah pihak media cetak dan elektronik nasional, para anggota DPRD yang saat itu diwakili Ridwan Alijdama mengtakan akan membantu para mahasiswa untuk mendesak pihak Polda Sulteng agar mengusut oknum aparat yang melakukan pemukulan serta penganiayaan terhadap para peserta aksi. Hal tersebut juga diamini oleh wakapolda sulteng
Dalam orasi terakhirnya, Sarinah salah seorang perempuan yang menjadi peserta aksi serta wakil coordinator lapangan aksi 28 oktober itu mengecam keras tindakan brutal para aparat keamanan yang melakukan aksi kekarasan terhadap para peserta aksi termasuk dirinya. Serta mengancam akan membawa masa yang lebih besar apabila dalam waktu tiga hari kedepan pihak POLDA Sulteng tidak menyelesaikan pengusutan terhadap para anggotanya. Sekitar pukul 13.30 WITA masa aksi perlahan meninggalkan halaman kantor DPRD Propinsi Sulawesi Tengah.
Perlu diketahui, dalam tuntutan awalnya, Aliansi Masyarakat Peduli Bangsa Indonesia ( AMPIBI) meminta kepada seluruh pemuda yang ada di indonesia agar bersatu untuk menggulingkan pemerintahan SBY yang mereka klaim sebagai boneka amerika. Dalam selebarannya mereka juga meminta, menolak revisi UUK No.13 2003, meminta upah layak dan setara nasional bagi kaum buruh, pendidikan dan esehatan gratis bagi seluruh rakyat indonesiasia, lapangan kerja yang layak, tolak kenaikan RDL, Gas dan BBM, kemudian hapuskan utang luar negeri, nasionalisasi industri asing dibawah control rakyat, penegakan hokum tanpa pandang bulu, stop kekerasan terhadap perempuan, bangun pemerintahan yang demokratis dan berkarakter kerakyatan, serta usut tuntas kasus korupsi secara nasional ( dari pusat hingga daerah).
Ampibi sendiri adalah gabungan organisasi mahasiswa dan kepemudaan yang eksis melakukan aksi perlawanan terhadap kebijakan – kebijakan pemerintah yang mereka nilai tidak berpihak kepada rakyat kecil. Organisasi yang tergabung didalamnya antara lain ; BEM UNISA Palu, BEM STAIN Palu, HMI MPO, LMND, MAHARDIKA, KOMRAD, PPBI, SANGSEKERTA,PMII, KOMA progresif, PEMBEBASAN, PPRM, FEMME progresif.
Pemuda adalah pewaris serta penerus dan penentu cita – cita dan harapan bangsa. Ditangan merekalah nasib bangsa ini akan ditulis. Ketika pemuda memulai sejarah pergerakannya menuju indonesia yang berdaulat dan berorientasi kerakyatan, semestinya itu mendapat dukungan moril dan materiil. Ukuran keberhasilan pemuda tidak hanya harus selalui dinilai dari prestasi mereka di bidang keilmuwan, atau mewakili bangsa ini mengikuti rangkaian perlombaan diluar negeri dan menjadi juara. Namun sekali lagi penegasan itu adalah adalah keliru dan berasal dari konsep nasionalisme yang tidak jelas. Peristiwa diatas adalah bentuk nasionalisme yang telah tertanam di hati dan jiwa pemuda. Mereka berani melawan tirani yang diciptakan oleh anak – anak bangsa ini sendiri. Mereka tak lelah meneriakkan perubahan yang sepantasnya untuk bangsa ini, mereka memperjuangkan hak seluruh rakyat miskin bangsa ini. Tapi apa yang terjadi…? Bukannya medali ataupun sapaan akrab yang mereka terima namun sebaliknya, pentungan, pukulan serta tendangan dan makian yang selalu menjadi pagar betis yang harus selalu mereka terima….,
Benarkah bangsa ini menjadi bangsa boneka seperti pada masa VOC dulu….? Analisalah kemudian mari bergerak untuk sebuah perubahan besar di Negara ini.//papa-------------------------------------------------------------------Q

Senin, 12 April 2010

Makna perubahan dalam konteks pilkada

Salah satu perubahan mendasar dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah yaitu proses seleksi kepemimpinan eksekutif lokal tidak lagi dipilih dan ditentukan oleh DPRD, tapi langsung oleh rakyat. Output pilkada diharapkan pemimpin eksekutif lokal yang bisa memenuhi preferensi mayoritas masyarakat lokal dan mempercepat terbentuknya pemerintahan daerah yang lebih baik (good governance). Dengan begitu, dari sisi subtansi, pilkada diharapkan bisa melakukan proses seleksi pemimpin yang dinilai rakyatnya terbaik untuk melakukan perubahan-perubahan yang menjanjikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas.
Apakah gambaran lahirnya seorang pemimpin produk pilkada tersebut dalam prakteknya bisa diwujudkan? dalam kasus kepemimpinan kepala daerah di beberapa daerah seperti di Kabupaten Jembarana, Solok, Sragen, sosok kepemimpinan kepala daerah di era otonomi daerah bisa mendobrak kemandekan pemerintahan dan menghasilkan contoh keteladanan.
pilkada ternyata tidak ada hubungan antara pemilih (konstituensi) dengan kompetensi. Seseorang calon kepala daerah walaupun dipilih dengan perolehan suara terbanyak tidak berarti menjadi kepala daerah yang memiliki kemampuan. Karena, dalam realitasnya proses rekrutmen pilkada, aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh faktor popularitas, kemampuan finansial, dan parpol pengusung. Di sinilah proses seleksi pemimpin menjadi bias karena realitas politik di masyarakat dan parpol baru sebatas penarikan dukungan belum sampai pada upaya pencarian pemimpin yang memiliki visi dan kapasitas memimpin pemerintahan. Kualifikasi dan kemampuan seseorang akan dikalahkan ketidakmampuannya dalam mengakses kepentingan partai politik.
Esensi pergantian kepemimpinan pada dasarnya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik atau proses pemilihan kepala daerah baru memiliki makna jika kepala daerah yang terpilih bisa melakukan perubahan-perubahan atau kemajuan-kemajuan yang bisa dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat luas. Oleh sebab itu, setiap calon kepala daerah selalu menjual isu perubahan sebagai salah satu isu kampanye yang cukup efektif menarik dukungan masyarakat luas.
Tidak berbeda dengan apa yang terjadi dikota palu, Menjelang Pilkada walikota bulan juni 2010 nanti, aroma persaingan masing – masing kompetitor mulai sangat terasa baik dari segi jumlah konstituen hingga sampai pada persoalan isu visi misi. Namun saat ini ada yang terasa unik, karena selama pelaksanaan pilkada di kota palu bahkan di propinsi Sulawesi tengah baru kali ini ada seorang calon yang mewakili kaum perempuan. Dari isu yang berkembang di masyarakat bawah, menengah, sampai sebagian elit politik menggadang – gadangkan tokoh tersebut sebagai salah satu calon kuat untuk menduduki jabatan walikota palu periode mendatang. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa tokoh perempuan ini selain memiliki tingkat inteligensi yang tinggi, juga ditunjang pengalaman yang mumpuni baik dari segi akademis sampai pada pengabdian terhadap masyarakat. Disamping itu juga kandidat satu ini juga memiliki Jaringan kerja yang besar bahkan sampai pada tingkat pusat.
Dari perolehan data yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey nasional, bahwa pada bulan desember 2009, tingkat popularitasnya mencapai nilai 50 % lebih. Ini merupakan sesuatu yang sangat menarik mengingat selain putri daerah asli, calon tersebut juga banyak menghabiskan waktu kerja dan pengabdiannya diluar propinsi Sulawesi Tengah. Karena begitu populisnya tokoh tersebut sampai – sampai membawa kekhawatiran tersendiri bagi para elit poltik veteran kota palu. Kekhawatiran dan ketakutan itu muncul tidak lain karena agenda perubahan yang diusung oleh kandidat ini adalah rill agenda pemerintahan yang berbasis kerakyatan dan bukan berbasis kekuasaan apalagi bisnis. Pertanyaan yang muncul di masyarakat saat ini adalah, lho..kok kenapa khawatir?
Dalam konteks pendidikan politik yang sehat dan dinamik, seharusnya melalui pilkada rakyat diberikan proses pembelajaran politik yang bisa memberikan pencerahan politik. Rakyat harus diberikan informasi yang objektif dan rasional untuk menilai mana calon yang memiliki visi perubahan dan calon mana yang antiperubahan, sehingga proses persaingan politik akan berjalan dalam suasana politik yang sehat dan terbangun kultur politik yang berkeadaban. Pola inilah yang saat ini sementara terus dibangun oleh kandidat beserta team worknya. Membangun serta mengawal kesadaran bagi masyarakat melalui kegiatan yang nyata memang menjadi satu syarat utama dalam agenda perubahannya yang saat ini mulai dirasakan oleh kalangan masyarakat kota palu.
Menurut salah seorang dosen salah satu perguruan tinggi negeri di indonesia bahwa Secara subtantif, makna perubahan dalam pilkada, yaitu adanya sejumlah gagasan melakukan perbaikan-perbaikan yang mendasar dalam segala bidang terutama yang dirasakan masyarakat luas. Isu perubahan yang selama ini dirasakan masyarakat luas, yaitu perbaikan di bidang ekonomi, pemerataan pembangunan, perbaikan di bidang pelayan publik, dan perubahan yang mendasar, yaitu membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Sudah banyak perubahan dilakukan melalui berbagai kebijakan pemerintah, tapi hasilnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Bahkan, ada kecenderungan dengan adanya perubahan kepemimpinan melalui pilkada yang demokratis, ternyata tidak secara signifikan bisa melakukan perubahan. Oleh sebab itu, pertanyaan yang hendak kita diskusikan, yaitu mengapa perubahan itu tidak terjadi? Dari mana kita memulai agenda perubahan tersebut? Beberapa alasan mengapa perubahan itu tidak terjadi?
Pertama, tidak terjadinya perubahan pascapergantian kepala daerah, bukan bararti calon kepala daerah tidak memiliki visi dan misi perubahan, melainkan visi dan misi tersebut gagal dilaksanakan. Problem mendasar kegagalan tersebut karena kultur birokrasi pemda cenderung bekerja dalam suasana tidak kompetitif, kurang memiliki kinerja yang optimal, pengalokasiaan anggaran yang tidak efisien, tidak bersahaja, dan cenderung korup.
Kedua, kekuasaan yang dijalankan kepala daerah cenderung tidak efektif karena gagal mengendalikan dan mengontrol perilaku birokrasi. Kekuasaan tidak dipakai untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan, tetapi lebih cenderung dipakai sebagai alat memaksimalkan kepentingan kepala daerah, bukan pada pencapaian kepentingan masyarakat luas.
Ketiga, berjalannya pemerintahan tidak bisa dikontrol secara efektif. DPRD yang seharusnya mengontrol kekuasaan jalannya pemerintahan tidak bisa efektif karena perilaku anggota Dewan lebih cenderung kompromistik, tanggap terhadap kepentingan pemda, dan berbagi kepentingan. Fungsi Dewan, akhirnya hanya sebagai alat legitimasi kepentingan kepala daerah dan pejabat birokrasi pemda, bukan mengarahkan, mengontrol, dan memberi alternatif kebijakan.
Keempat, tidak muncul kepemimpinan yang kontekstual dalam pengertian kalau sebagian besar penduduk di suatu daerah kabupaten/kota masyarakatnya miskin ternyata pemimpinya tidak secara serius memperjuangkan agar rakyatnya bebas dari persoalan kemiskinan. Demikian halnya jika terjadi pemerintahan itu korup penuh dengan pungli, ternyata pemimpinnya sama sekali tidak memiliki komitmen mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari pungli.
Kelima, keberadaan pemerintah daerah di mana pun juga dimaksudkan menghasilkan output. Output penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah berupa percepatan kesejahteraan masyarakat. Inovasi menjadi suatu keharusan yang mesti dilakukan agar keberadaan pemerintah menjadi bermakna di mata rakyatnya. Inovasi itu bisa dicapai antara lain melalui terobosan mengambil keputusan terutama yang terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ada kecenderungan pemerintah daerah sekarang tidak inovatif karena terjebak gaya pemerintahan yang monoton, lamban, cenderung rutinitas bahkan sebagian besar kepala daerah penuh rasa khawatir untuk melakukan eksperimen penyelenggaraan pemerintahan di alam otonomi. Banyak pejabat daerah berhadapan dengan hukum karena tindakannya dituduh telah melakukan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai melanggar undang-undang. Ini membuat pemerintah daerah takut berinovasi akibatnya tidak terjadi peningkatan kualitas pelayanan kepada rakyat, demikian juga percepatan kesejahteraan sulit tercapai.
Bertolak dari alasan tersebutlah sehingga segenap warga kota palu sangat berharap bahwa para kompetitor yang akan memenangkan kompetisi pemilihan wali kota palu nanti benar – benar yang memiliki visi kedepan yang mampu merubah kota palu menjadi kota yang terang, sehat, dan lebih cerdas........(iwan. Ambo, ST)

ISTILAH “ TOKOH “ dalam kerangka pikir Masyarakat

ISTILAH “ TOKOH “ dalam kerangka pikir Masyarakat

Asumsi masyarakat saat ini dalam mengejawantahkan istilah – istilah bahasa Indonesia semakin beragam. Sebut saja istilah yang akan kita jadikan sampel disini adalah kata “ TOKOH”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia definisi kata “ tokoh” salah satunya adalah orang yg terkemuka dan kenamaan (dl bidang politik, kebudayaan, dsb). Namun dalam perkembangannya masyarakat mulai mendefinisikan kata tersebut semakin luas, bahkan di ikuti dengan persyaratan – persyaratan khusus. Seperti misalnya, seseorang harus tepat menyandang kata Tokoh jika mampu memberikan sumbangsih ide, tenaga serta pikiran secara konsisten bagi perkembangan atau perubahan suatu kaum, kelompok, organisasi, dan sebagainya.Hal ini memang benar dan cukup realisistis. Padahal sebenarnya tidak ditemukan satu aturan khusus atau baku yang bersifat hukum serta aturan tertulis lainnya untuk menjadi tolak ukur seseorang di tasbihkan sebagai tokoh dalam kelompok masyarakat tertentu. Berbeda hal dengan pengangkatan seseorang untuk disebut sebagai PAHLAWAN. Karena untuk kategori PAHLAWAN sangat jelas persyaratannya oleh negara. Kita tinggalkan sementara istilah pahlawan karena bukan menjadi topik penulisan kali ini.
Kelompok atau organisasi lainnya yang ada di masyarakat sah – sah saja mengklaim atau mengangkat seseorang menjadi tokoh dikelompoknya. Sepanjang person tersebut pantas untuk menyandang kata itu dan tidak ada satu pihak manapun yang dirugikan atasan keputusan mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pihak atau organisasi lainnya yang berhak melakukan protes atas apa yang telah kelompok lain putuskan.
Istilah “ Tokoh “ dalam persepsi kehidupan masyarakat yang bermartabat saat ini tidak perlu lagi dipersoalkan. Seperti pada sebuah tulisan pada halaman pertama yang dilansir di sebuah harian lokal kota palu pada tanggal (02/02) yang mempertanyakan sebutan tokoh bagi seseorang dikelompoknya. Apalagi orang tersebut adalah salah satu yang mewakili kaum perempuan untuk maju menjadi calon walikota palu pada pilkada kota nanti. Tulisan itu semakin menggelitik ketika segala kegiatan orang yang dimaksud dihubung – hubungkan dengan kegiatan kampanye. Tentunya banyak alasan serta pertimbangan yang logis sehingga sebutan itu berani dimunculkan. Benar atau tidaknya kegiatan yang dia lakukan berbau kampanye, hanya masyrakatlah yang bisa menilainya. Sebab dari semua kegiatan yang orang tersebut lakukan sangat diterima dan mampu memberikan dampak perubahan yang sangat drastis di masyarakat kota palu. Sebut saja salah satunya adalah pengasapan gratis di pemukiman warga yang padat penduduk.
Jadi anggapan sementara, persoalan penokohan di kelompok masyarakat oleh masyarakat itu sendiri, bukanlah sebuah hal yang perlu dijadikan polemik. Sebab Sebagai orang – orang yang cerdas dan bijaksana, memberikan kesempatan kepada setiap warga masyarakat untuk maju berperan serta dalam menyumbangkan ide, tenaga serta pikiran bagi perkembangan dan perubahan suatu iklim bermasyarakat, perlu disambut dengan positif. Bukan dengan cara sebaliknya, Apalagi terselip kecurigaan – kecurigaan yang tidak mendasar. Intervensi yang tidak berlebihan akan penokohan seseorang dikelompoknya wajar saja, selama tidak mendiskreditkan tokoh tersebut apalagi mempertanyakan alasan kelompoknya sehingga memberikan sebutan itu. Sebab masyarakat akan menilai bahwa intervensi yang berlebihan itu terkadang akumulasi dari kepentingan orang – orang yang tidak terakomodir oleh sang tokoh. Masih banyak persoalan lain saat ini yang sebenarnya membutuhkan sorotan yang lebih tajam dan kritis, baik itu dari segi kebijakan atau aturan – aturan pemerintah.
Untuk menyimpulkan sementara, bahwa kata ataupun istilah “ tokoh “ adalah hal yang mutlak diberikan pada seseorang yang telah dan akan memberikan dampak perubahan bagi suatu komunitas. Tentunya semua itu harus terkawal secara konsisten. Sehingga penokohan bagi seseorang tidak lagi menjadi sorotan . dan semoga tokoh yang saat ini dipertanyakan dalam tulisan salah satu harian lokal kita, tidak menjadikan hal tersebut sebagai suatu hambatan dalam memperjuangkan hak – hak orang banyak. Sebab penilaian itu terletak pada masyarakat itu sendiri.


T E R I M A K A S I H

Kamis, 25 Februari 2010

ulasan singkat tentang HJ. HABSA YANTI PONULELE

Sebuah Konspirasi
untuk menaklukkan “ HATI “

Setelah beberapa rangkaian kegiatan yang telah dilakukan oleh calon walikota palu Hj. Habsa Yanti Ponulele, ST, Msi, beserta Tim kreatifnya yang akrab disebut TIM HATI perihal sosialisasi serta kegiatan sosial dan keagamaan yang langsung melibatkan warga masyarakat kota palu, memang terasa sekali dampak positifnya. Beberapa diantara poin positif yang dimaksud adalah semakin lekatnya sosok Hj. Habsa Yanti Ponulele, ST, Msi, dengan masyarakat yang inginkan perubahan. Beberapa lembaga survey indonesia melalui data hasil survey mereka, semakin menguatkan pendapat ini. Tingkat pengenalan dan kesukaan warga masyarakat kota palu kepada sosok perempuan santun dan tenang ini terus meningkat. Tentunya semua ini tidak lepas dari sumbangsih ide, pemikiran serta tenaga TIM beserta relawan militan lainnya. Serta poin interestnya adalah karena masyarakat kota palu sedang menunggu sosok yang baru, original, dan tidak pernah terlibat dalam unsur pemerintahan dan pengambil kebijakan sebelumnya di daerah ini.
Namun, ibarat pepatah “ Semakin tinggi pohon, semakin kuat angin menerpanya”. Mungkin gambaran inilah yang sesuai dengan kondisi saat ini. Banyak isu yang menyesatkan, kritikan, tuduhan serta hujatan yang tidak berdasar dialamatkan ke pihak Ibu dan Timnya. Meski kadang semuanya itu sudah melampaui etika – etika berpikir dan bertindak, tapi TIM HATI tetap tenang dan merasa ruang ini bukan ruang yang tepat untuk menyebutkan satu persatu semua itu. Ruang ini adalah ruang yang santun, dan tempatnya semua kebenaran diungkapkan, bukan sebuah ruang bisnis yang dipoles dengan kepentingan. Ibu bersama TIM menyikapi semua ini dengan sangat dewasa, arif dan bijaksana. Menurutnya Ini adalah sebuah dinamika yang harus diterima, karena niat tulus untuk satu perubahan besar terhitung berat. Tapi perlu diingat kembali bahwa Keberhasilan yang nyata tidak datang dari jalan yang instant.
Perlu kita sadari bersama, apapun latar belakang seorang Hj. Habsa Yanti Ponulele, ST, Msi, tidak perlu menjadi satu bahan untuk mendiskreditkan keberadaan beliau dikota palu ini. Apalagi perihal istilah tokoh yang yang menjadi sorotan oleh beberapa kalangan kepada beliau serta gerakan – gerakan anti HATI. Iklim demokrasi seperti saat ini memang merupakan iklim dimana semua aspirasi harus didengarkan. Inilah yang melatarbelakangi mengapa Ibu bersama TIM tidak menjadikan hal seperti itu menjadi hambatan, bahkan sebaliknya. Namun harus diakui juga bahwa tidak sedikit pula dari beberapa isu yang disayangkan, karena sangat jauh dari nilai kebenaran dan kemanusiaan.
Dalam sebuah kompetisi besar, hendaknya masing – masing competitor mengedepankan etika persaingan. Manuver adalah bagian dari konsep pemenangan. Namun bukan berarti harus menghalalkan segala cara saat dalam kondisi mulai tertekan. Masyarakat akan menilai dengan sendiri bahwa pola – pola seperti yang biasa kita sebut dengan “ black campaign” adalah pola persaingan yang kehabisan konsep. Seperti yang terjadi belakangan ini,ada anggapan yang berusaha di bangun di tengah masyarakat, bahwa “HATI” adalah tipikal pemimpin ambisius. Apakah ini dampak dari sebuah manuver pihak – pihak yang khawatir? Kekhawatiran dan ketakutan itu muncul tidak lain karena agenda perubahan yang diusung oleh kandidat ini adalah rill agenda pemerintahan yang berbasis kerakyatan dan bukan berbasis kekuasaan apalagi bisnis. Pertanyaan yang muncul di masyarakat saat ini adalah, lho..kok kenapa khawatir? Apakah selama ini warga masyarakat kota palu sudah puas dengan apa yang mereka rasakan dalam dengan gaya pemerintahan seperti kemarion dan hari ini ? Buka mata, buka hati, kemudian dengarkan apa keluhan mereka.., Warga kota palu jenuh dengan kebijakan – kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil, aspirasi yang tidak terakomodir, ruang publik yang dikuasai oleh oknum birokrat, PERISTIWA MENYALA BERGILIR yang sangat fenomenal karena krisis listrik yang tidak pernah terselesaikan, serta KKN yang terus menggurita disetiap sudut pemerintahan, biaya pendidikan yang tidak memihak rakyat kecil, sampah – sampah yang semakin membumi, dsb. Inikah yang perlu dipertahankan? Masyarakat BUTUH PERUBAHAN..BOS.., SADAR LE....!!!!
Yang sangat disayangkan lagi, begitu Banyak strategi yang serta manuver yang diciptakan saat ini terkesan hanya menjebak opini masyarakat. Tidak disertai dengan solusi yang cerdas serta data – data yang valid. Tapi kembali lagi bahwa ” Tim HATI ” menyadari bahwa masyarakat kota palu saat ini adalah masyarakat yang cukup selektif. Mampu melihat apa yang benar dan apa yang salah. Harapan dan energi baru terselip disetiap keinginan mereka. HARI INI DAN AKAN DATANG ..sudah sepantasnya Hj. Habsa Yanti Ponulele, ST. Msi mendapat tempat di hati warga kota palu. Semoga ALLAH SWT menunjukkan kebesarannya atas nama kebenaran untuk kemenangan kaum yang tertindas. AMIN.....



Hapus Kiriman

WANITA LAYAK MEMIMPIN

PEMIMPIN WANITA DALAM PANDANGAN LUAS ISLAM
Kontra argument perihal pemimpin wanita dalam konteks islam sudah sejak lama menjadi perdebatan panjang para ulama dan ahli fiqih. Hal ini tidak lepas dari konsep penyemarataan hak bagi kaum pria dan wanita dari sudut pandang islam. Kita perlu mereview kembali, bahwa pada sekitar bulan maret tahun 2005 Dr. Amina Wadud menjadi pelaku salah satu peristiwa besar dalam sejarah dunia islam modern. Dr. Amina Wadud (sebagai imam sekaligus khatib) memimpin shalat jumat di gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS. Gebrakan revolusioner pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University, AS, itu, tidak hanya membuka kembali perdebatan fikih tentang boleh-tidaknya perempuan memimpin salat yang disertai makmum laki-laki, tapi juga menuai ancaman mati.
Bagaimanakah sesungguhnya pertimbangan ahli fikih Islam dalam kasus seperti ini?. Atas peristiwa tersebut K.H. Husein Muhammad (Pengasuh Pondok Peantren Darut Tauhid, Arjowinangun, Cirebon) memberikan pendapat bahwa sebenarnya perempuan dibolehkan menjadi imam salat bagi siapa saja, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Beliau tidak setuju dengan pernyataan bahwa di dalam hukum Islam, perempuan tidak dibolehkan menjadi imam bagi laki-laki. Persoalannya menurutnya tidak seperti itu. Pernyataan seperti demikian hanyalah pandangan mainstream ulama saja. Bahkan, Imam Mazni, tokoh besar yang menjadi murid utama Imam Syafi'i juga membolehkan hal tersebut. Argumen yang sering dikemukakan mereka yang melarang sebenarnya diambil dari hadis nabi, karena Alquran sendiri tidak menyinggung persoalan ini. Hadis yang selalu dikemukakan adalah hadis Ibnu Majah yang bersumber dari Jabir yang berbunyi, “Lâ ta’ummanna imra-atun rajulan, wa lâ a`râbiyyun muhâjiran, wa lâ fâjirun mu'minan.” Artinya, janganlah sekali-kali perempuan mengimami laki-laki, Arab Badui mengimami Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan pendosa mengimami mukmin yang baik. Hadis inilah yang sering dikemukakan di banyak tempat, untuk menopang argumen yang tidak membolehkan perempuan mengimami laki-laki dalam salat.. Jadi dasar pelarangannya adalah bunyi tekstual hadis Jabir ini. banyak orang melihat hadis ini secara eksplisit saja. Hadis ini juga diterima sedemikian rupa, tanpa melakukan analisis kritis atas matan atau isi hadisnya. Kita terlalu sering menggunakan hadis kalau sanad-nya (mata rantai periwayatnya,) sudah dianggap sahih, tanpa melakukan kritik atas matan atau isinya. Padahal, Imam Nawawi sendiri sudah mengatakan dalam kitabnya bahwa hadis ini lemah atau dla`îf. .
Sedangkan dasar argumen yang digunakan oleh beberapa ulama membolehkan wanita mengimani laki – laki adalah dilandaskan pada hadis Ummi Waraqah yang lebih kuat keabsahan sanad, apalagi matannya. Hadis itu berbunyi, “…Wakâna sallalLâh `alaihi wa sallam yazûruhâ fî baitihâ waja`ala lahâ mu’addzinan yuaddzinu lahâ wa-amara ‘an ta’umma ahla dârihâ.” Artinya, nabi pernah berkunjung ke kediaman Ummi Waraqah, lalu menunjuk seseorang untuk azan, dan memerintahkan Ummi Waraqah untuk mengimami keluarganya. Di antara orang yang ada di kediaman Ummi Waraqah tersebut terdapat syaikhun kabîr wa ghulâmuhâ wajâriyatahâ atau seorang laki-laki lanjut usia dan seorang budak laki-laki dan perempuan. Hadis ini lebih sahih dari pada hadis pertama tadi dari sisi sanad, apalagi matan. Untuk dapat dicek lebih lanjut, ini dapat ditemukan di kitab Mukhtashar Sunan Abî Dâ’ud..
Dalam kesempatan lain Dr. Nur Rofi'ah (alumnus Ankara University Turki yang kini menjadi dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) memberikan alasan mengenai tidak populisnya pendapat yang membolehkan wanita menjadi imam bagi laki – laki. Menurutnya memang pandangan seperti itu tidak populer, makanya banyak yang tidak tahu. Tapi perlu digarisbawahi, jangan karena kita tidak tahu lantas menganggap sesuatu itu tidak ada (tidak ada landasannya di dalam Islam). Sebab kita juga tahu, ayat-ayat Alquran tentang porsi pembagian waris satu berbanding dua antara laki-laki dan perempuan, atau bolehnya seorang suami memukul istri, jauh lebih populer dari pada ayat yang memerintahkan laki-laki atau setiap suami untuk berbuat baik terhadap istrinya. Dan uniknya, sisi lemah hadis yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam, itu pun tidak kita ketahui. Makanya, ketidaktahuan ini memang sebuah persoalan besar. Untuk itu perlu ada sosialisasi yang seimbang dan berkelanjutan antara laki-laki dan perempuan untuk membuat sebuah wacana lebih hidup.
Sejalan dengan kemajuan zaman saat ini, tidak sedikit kaum wanita yang terjun kedunia politik. bahkan ada beberapa daerah di indonesia yang didaulat menjadi pimpinan kepala daerah. Peran serta wanita dalam kancah perpolitikan diindonesia sebagai wakil rakyat saat ini semakin dipertegas pula dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang tata cara pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD .
Bagaimana pula hal tersebut dipandang dalam kaca mata hukum Islam? Apakah kaum wanita islam juga memiliki hak politik seperti kaum pria lainnya?. Dalam sebuah catatan yang ditulis oleh Dr. M. Quraish Shihab, MA (“Wawasan Al – Qur’an/ Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan umat” ) menyatakan bahwa ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan mereka., 1. Ayat Ar-rijal qawwamuna 'alan-nisa' (Lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita) (QS An-Nisa, [4]: 34), 2. Hadis yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan dengan akal lelaki; keberagamaannya pun demikian., 3. Hadis yang mengatakan: Lan yaflaha qaum wallauw amrahum imra'at (Tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan). Ayat dan hadis-hadis di atas menurut mereka mengisyaratkan bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan bahwa wanita harus mengakui kepemimpinan lelaki. Pendapat ini diikuti oleh banyak mufasir lainnya. Namun, sekian banyak mufasir dan pemikir kontemporer melihat bahwa ayat di atas tidak
harus dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks kehidupan berumah tangga.
Kemudian beliau menjelaskan lagi bahwa, kata ar-rijal dalam ayat ar-rijalu qawwamuna 'alan nisa', bukan berarti lelaki secara umum, tetapi adalah "suami" karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata "lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu konsideransnya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Adapun mengenai hadis, "tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan," perlu digarisbawahi bahwa hadis ini tidak bersifat umum. Ini terbukti dan redaksi hadis tersebut secara utuh, seperti diriwayatkan Bukhari, Ahmad, An-Nasa'i dan At-Tirmidzi, melalui Abu Bakrah. Ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, "Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan." (Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa'i, dan Ahmad melalui Abu Bakrah). Jadi sekali lagi hadis tersebut di atas hanya ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan.
Kita dapat berkesimpulan bahwa, tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut. Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat At-Taubah ayat 71:"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat "menyuruh, mengerjakan yang makruf dan mencegah yang munkar." Pengertian kata awliya' mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang terlibat pada persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad Saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad Saw. sendiri, yakni Aisyah r.a. , memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terhunuhnya Khalifah
ketiga 'Utsman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun. Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi, kendati ada jabatan yang oleh sebagian ulama dianggap tidak boleh diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan kepala negara (Al-Imamah Al-Uzhma) dan hakim. Namun perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukungan larangan tersebut, khususnya persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim. Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkan kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain. Atas dasar kaidah di atas, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih - bukan hanya sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat - kita dapat menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela maupun penuntut
dalam berbagai bidang.
Semoga sederhananya ulasan diatas dapat semakin membuka kesadaran kita bahwa sebernarnya islam adalah agama yang menyamaratakan esensi pria dan wanita. Dan terpenting lagi kita sadari bersama bahwa kaum wanita juga berhak memikul tanggung jawab seperti layaknya kaum pria jika mereka memiliki kemampuan itu. Tak ada ukuran batasan kemampuan yang dikaruniakan Allah SWT kepada kaum pria dan wanita seperti yang dipertegas dalam (QS An-Nisa, [4]: 32) yang berbunyi: "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuanjuga ada bagian dari yang mereka usahakan, dan bermohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Hapus Kiriman

Minggu, 17 Januari 2010

Makna perubahan dalam konteks pilkada

Makna perubahan dalam konteks pilkada
Salah satu perubahan mendasar dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah yaitu proses seleksi kepemimpinan eksekutif lokal tidak lagi dipilih dan ditentukan oleh DPRD, tapi langsung oleh rakyat. Output pilkada diharapkan pemimpin eksekutif lokal yang bisa memenuhi preferensi mayoritas masyarakat lokal dan mempercepat terbentuknya pemerintahan daerah yang lebih baik (good governance). Dengan begitu, dari sisi subtansi, pilkada diharapkan bisa melakukan proses seleksi pemimpin yang dinilai rakyatnya terbaik untuk melakukan perubahan-perubahan yang menjanjikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas.
Apakah gambaran lahirnya seorang pemimpin produk pilkada tersebut dalam prakteknya bisa diwujudkan? dalam kasus kepemimpinan kepala daerah di beberapa daerah seperti di Kabupaten Jembarana, Solok, Sragen, sosok kepemimpinan kepala daerah di era otonomi daerah bisa mendobrak kemandekan pemerintahan dan menghasilkan contoh keteladanan.
pilkada ternyata tidak ada hubungan antara pemilih (konstituensi) dengan kompetensi. Seseorang calon kepala daerah walaupun dipilih dengan perolehan suara terbanyak tidak berarti menjadi kepala daerah yang memiliki kemampuan. Karena, dalam realitasnya proses rekrutmen pilkada, aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh faktor popularitas, kemampuan finansial, dan parpol pengusung. Di sinilah proses seleksi pemimpin menjadi bias karena realitas politik di masyarakat dan parpol baru sebatas penarikan dukungan belum sampai pada upaya pencarian pemimpin yang memiliki visi dan kapasitas memimpin pemerintahan. Kualifikasi dan kemampuan seseorang akan dikalahkan ketidakmampuannya dalam mengakses kepentingan partai politik.
Esensi pergantian kepemimpinan pada dasarnya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik atau proses pemilihan kepala daerah baru memiliki makna jika kepala daerah yang terpilih bisa melakukan perubahan-perubahan atau kemajuan-kemajuan yang bisa dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat luas. Oleh sebab itu, setiap calon kepala daerah selalu menjual isu perubahan sebagai salah satu isu kampanye yang cukup efektif menarik dukungan masyarakat luas.
Tidak berbeda dengan apa yang terjadi dikota palu, Menjelang Pilkada walikota bulan juni 2010 nanti, aroma persaingan masing – masing kompetitor mulai sangat terasa baik dari segi jumlah konstituen hingga sampai pada persoalan isu visi misi. Namun saat ini ada yang terasa unik, karena selama pelaksanaan pilkada di kota palu bahkan di propinsi Sulawesi tengah baru kali ini ada seorang calon yang mewakili kaum perempuan. Dari isu yang berkembang di masyarakat bawah, menengah, sampai sebagian elit politik menggadang – gadangkan tokoh tersebut sebagai salah satu calon kuat untuk menduduki jabatan walikota palu periode mendatang. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa tokoh perempuan ini selain memiliki tingkat inteligensi yang tinggi, juga ditunjang pengalaman yang mumpuni baik dari segi akademis sampai pada pengabdian terhadap masyarakat. Disamping itu juga kandidat satu ini juga memiliki Jaringan kerja yang besar bahkan sampai pada tingkat pusat.
Dari perolehan data yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey nasional, bahwa pada bulan desember 2009, tingkat popularitasnya mencapai nilai 50 % lebih. Ini merupakan sesuatu yang sangat menarik mengingat selain putri daerah asli, calon tersebut juga banyak menghabiskan waktu kerja dan pengabdiannya diluar propinsi Sulawesi Tengah. Karena begitu populisnya tokoh tersebut sampai – sampai membawa kekhawatiran tersendiri bagi para elit poltik veteran kota palu. Kekhawatiran dan ketakutan itu muncul tidak lain karena agenda perubahan yang diusung oleh kandidat ini adalah rill agenda pemerintahan yang berbasis kerakyatan dan bukan berbasis kekuasaan apalagi bisnis. Pertanyaan yang muncul di masyarakat saat ini adalah, lho..kok kenapa khawatir?
Dalam konteks pendidikan politik yang sehat dan dinamik, seharusnya melalui pilkada rakyat diberikan proses pembelajaran politik yang bisa memberikan pencerahan politik. Rakyat harus diberikan informasi yang objektif dan rasional untuk menilai mana calon yang memiliki visi perubahan dan calon mana yang antiperubahan, sehingga proses persaingan politik akan berjalan dalam suasana politik yang sehat dan terbangun kultur politik yang berkeadaban. Pola inilah yang saat ini sementara terus dibangun oleh kandidat beserta team worknya. Membangun serta mengawal kesadaran bagi masyarakat melalui kegiatan yang nyata memang menjadi satu syarat utama dalam agenda perubahannya yang saat ini mulai dirasakan oleh kalangan masyarakat kota palu.
Menurut salah seorang dosen salah satu perguruan tinggi negeri di indonesia bahwa Secara subtantif, makna perubahan dalam pilkada, yaitu adanya sejumlah gagasan melakukan perbaikan-perbaikan yang mendasar dalam segala bidang terutama yang dirasakan masyarakat luas. Isu perubahan yang selama ini dirasakan masyarakat luas, yaitu perbaikan di bidang ekonomi, pemerataan pembangunan, perbaikan di bidang pelayan publik, dan perubahan yang mendasar, yaitu membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Sudah banyak perubahan dilakukan melalui berbagai kebijakan pemerintah, tapi hasilnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Bahkan, ada kecenderungan dengan adanya perubahan kepemimpinan melalui pilkada yang demokratis, ternyata tidak secara signifikan bisa melakukan perubahan. Oleh sebab itu, pertanyaan yang hendak kita diskusikan, yaitu mengapa perubahan itu tidak terjadi? Dari mana kita memulai agenda perubahan tersebut? Beberapa alasan mengapa perubahan itu tidak terjadi?
Pertama, tidak terjadinya perubahan pascapergantian kepala daerah, bukan bararti calon kepala daerah tidak memiliki visi dan misi perubahan, melainkan visi dan misi tersebut gagal dilaksanakan. Problem mendasar kegagalan tersebut karena kultur birokrasi pemda cenderung bekerja dalam suasana tidak kompetitif, kurang memiliki kinerja yang optimal, pengalokasiaan anggaran yang tidak efisien, tidak bersahaja, dan cenderung korup.
Kedua, kekuasaan yang dijalankan kepala daerah cenderung tidak efektif karena gagal mengendalikan dan mengontrol perilaku birokrasi. Kekuasaan tidak dipakai untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan, tetapi lebih cenderung dipakai sebagai alat memaksimalkan kepentingan kepala daerah, bukan pada pencapaian kepentingan masyarakat luas.
Ketiga, berjalannya pemerintahan tidak bisa dikontrol secara efektif. DPRD yang seharusnya mengontrol kekuasaan jalannya pemerintahan tidak bisa efektif karena perilaku anggota Dewan lebih cenderung kompromistik, tanggap terhadap kepentingan pemda, dan berbagi kepentingan. Fungsi Dewan, akhirnya hanya sebagai alat legitimasi kepentingan kepala daerah dan pejabat birokrasi pemda, bukan mengarahkan, mengontrol, dan memberi alternatif kebijakan.
Keempat, tidak muncul kepemimpinan yang kontekstual dalam pengertian kalau sebagian besar penduduk di suatu daerah kabupaten/kota masyarakatnya miskin ternyata pemimpinya tidak secara serius memperjuangkan agar rakyatnya bebas dari persoalan kemiskinan. Demikian halnya jika terjadi pemerintahan itu korup penuh dengan pungli, ternyata pemimpinnya sama sekali tidak memiliki komitmen mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari pungli.
Kelima, keberadaan pemerintah daerah di mana pun juga dimaksudkan menghasilkan output. Output penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah berupa percepatan kesejahteraan masyarakat. Inovasi menjadi suatu keharusan yang mesti dilakukan agar keberadaan pemerintah menjadi bermakna di mata rakyatnya. Inovasi itu bisa dicapai antara lain melalui terobosan mengambil keputusan terutama yang terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ada kecenderungan pemerintah daerah sekarang tidak inovatif karena terjebak gaya pemerintahan yang monoton, lamban, cenderung rutinitas bahkan sebagian besar kepala daerah penuh rasa khawatir untuk melakukan eksperimen penyelenggaraan pemerintahan di alam otonomi. Banyak pejabat daerah berhadapan dengan hukum karena tindakannya dituduh telah melakukan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai melanggar undang-undang. Ini membuat pemerintah daerah takut berinovasi akibatnya tidak terjadi peningkatan kualitas pelayanan kepada rakyat, demikian juga percepatan kesejahteraan sulit tercapai.
Bertolak dari alasan tersebutlah sehingga segenap warga kota palu sangat berharap bahwa para kompetitor yang akan memenangkan kompetisi pemilihan wali kota palu nanti benar – benar yang memiliki visi kedepan yang mampu merubah kota palu menjadi kota yang terang, sehat, dan lebih cerdas........(iwan. Ambo, ST)