Senin, 12 April 2010

Makna perubahan dalam konteks pilkada

Salah satu perubahan mendasar dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah yaitu proses seleksi kepemimpinan eksekutif lokal tidak lagi dipilih dan ditentukan oleh DPRD, tapi langsung oleh rakyat. Output pilkada diharapkan pemimpin eksekutif lokal yang bisa memenuhi preferensi mayoritas masyarakat lokal dan mempercepat terbentuknya pemerintahan daerah yang lebih baik (good governance). Dengan begitu, dari sisi subtansi, pilkada diharapkan bisa melakukan proses seleksi pemimpin yang dinilai rakyatnya terbaik untuk melakukan perubahan-perubahan yang menjanjikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas.
Apakah gambaran lahirnya seorang pemimpin produk pilkada tersebut dalam prakteknya bisa diwujudkan? dalam kasus kepemimpinan kepala daerah di beberapa daerah seperti di Kabupaten Jembarana, Solok, Sragen, sosok kepemimpinan kepala daerah di era otonomi daerah bisa mendobrak kemandekan pemerintahan dan menghasilkan contoh keteladanan.
pilkada ternyata tidak ada hubungan antara pemilih (konstituensi) dengan kompetensi. Seseorang calon kepala daerah walaupun dipilih dengan perolehan suara terbanyak tidak berarti menjadi kepala daerah yang memiliki kemampuan. Karena, dalam realitasnya proses rekrutmen pilkada, aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh faktor popularitas, kemampuan finansial, dan parpol pengusung. Di sinilah proses seleksi pemimpin menjadi bias karena realitas politik di masyarakat dan parpol baru sebatas penarikan dukungan belum sampai pada upaya pencarian pemimpin yang memiliki visi dan kapasitas memimpin pemerintahan. Kualifikasi dan kemampuan seseorang akan dikalahkan ketidakmampuannya dalam mengakses kepentingan partai politik.
Esensi pergantian kepemimpinan pada dasarnya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik atau proses pemilihan kepala daerah baru memiliki makna jika kepala daerah yang terpilih bisa melakukan perubahan-perubahan atau kemajuan-kemajuan yang bisa dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat luas. Oleh sebab itu, setiap calon kepala daerah selalu menjual isu perubahan sebagai salah satu isu kampanye yang cukup efektif menarik dukungan masyarakat luas.
Tidak berbeda dengan apa yang terjadi dikota palu, Menjelang Pilkada walikota bulan juni 2010 nanti, aroma persaingan masing – masing kompetitor mulai sangat terasa baik dari segi jumlah konstituen hingga sampai pada persoalan isu visi misi. Namun saat ini ada yang terasa unik, karena selama pelaksanaan pilkada di kota palu bahkan di propinsi Sulawesi tengah baru kali ini ada seorang calon yang mewakili kaum perempuan. Dari isu yang berkembang di masyarakat bawah, menengah, sampai sebagian elit politik menggadang – gadangkan tokoh tersebut sebagai salah satu calon kuat untuk menduduki jabatan walikota palu periode mendatang. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa tokoh perempuan ini selain memiliki tingkat inteligensi yang tinggi, juga ditunjang pengalaman yang mumpuni baik dari segi akademis sampai pada pengabdian terhadap masyarakat. Disamping itu juga kandidat satu ini juga memiliki Jaringan kerja yang besar bahkan sampai pada tingkat pusat.
Dari perolehan data yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey nasional, bahwa pada bulan desember 2009, tingkat popularitasnya mencapai nilai 50 % lebih. Ini merupakan sesuatu yang sangat menarik mengingat selain putri daerah asli, calon tersebut juga banyak menghabiskan waktu kerja dan pengabdiannya diluar propinsi Sulawesi Tengah. Karena begitu populisnya tokoh tersebut sampai – sampai membawa kekhawatiran tersendiri bagi para elit poltik veteran kota palu. Kekhawatiran dan ketakutan itu muncul tidak lain karena agenda perubahan yang diusung oleh kandidat ini adalah rill agenda pemerintahan yang berbasis kerakyatan dan bukan berbasis kekuasaan apalagi bisnis. Pertanyaan yang muncul di masyarakat saat ini adalah, lho..kok kenapa khawatir?
Dalam konteks pendidikan politik yang sehat dan dinamik, seharusnya melalui pilkada rakyat diberikan proses pembelajaran politik yang bisa memberikan pencerahan politik. Rakyat harus diberikan informasi yang objektif dan rasional untuk menilai mana calon yang memiliki visi perubahan dan calon mana yang antiperubahan, sehingga proses persaingan politik akan berjalan dalam suasana politik yang sehat dan terbangun kultur politik yang berkeadaban. Pola inilah yang saat ini sementara terus dibangun oleh kandidat beserta team worknya. Membangun serta mengawal kesadaran bagi masyarakat melalui kegiatan yang nyata memang menjadi satu syarat utama dalam agenda perubahannya yang saat ini mulai dirasakan oleh kalangan masyarakat kota palu.
Menurut salah seorang dosen salah satu perguruan tinggi negeri di indonesia bahwa Secara subtantif, makna perubahan dalam pilkada, yaitu adanya sejumlah gagasan melakukan perbaikan-perbaikan yang mendasar dalam segala bidang terutama yang dirasakan masyarakat luas. Isu perubahan yang selama ini dirasakan masyarakat luas, yaitu perbaikan di bidang ekonomi, pemerataan pembangunan, perbaikan di bidang pelayan publik, dan perubahan yang mendasar, yaitu membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Sudah banyak perubahan dilakukan melalui berbagai kebijakan pemerintah, tapi hasilnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Bahkan, ada kecenderungan dengan adanya perubahan kepemimpinan melalui pilkada yang demokratis, ternyata tidak secara signifikan bisa melakukan perubahan. Oleh sebab itu, pertanyaan yang hendak kita diskusikan, yaitu mengapa perubahan itu tidak terjadi? Dari mana kita memulai agenda perubahan tersebut? Beberapa alasan mengapa perubahan itu tidak terjadi?
Pertama, tidak terjadinya perubahan pascapergantian kepala daerah, bukan bararti calon kepala daerah tidak memiliki visi dan misi perubahan, melainkan visi dan misi tersebut gagal dilaksanakan. Problem mendasar kegagalan tersebut karena kultur birokrasi pemda cenderung bekerja dalam suasana tidak kompetitif, kurang memiliki kinerja yang optimal, pengalokasiaan anggaran yang tidak efisien, tidak bersahaja, dan cenderung korup.
Kedua, kekuasaan yang dijalankan kepala daerah cenderung tidak efektif karena gagal mengendalikan dan mengontrol perilaku birokrasi. Kekuasaan tidak dipakai untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan, tetapi lebih cenderung dipakai sebagai alat memaksimalkan kepentingan kepala daerah, bukan pada pencapaian kepentingan masyarakat luas.
Ketiga, berjalannya pemerintahan tidak bisa dikontrol secara efektif. DPRD yang seharusnya mengontrol kekuasaan jalannya pemerintahan tidak bisa efektif karena perilaku anggota Dewan lebih cenderung kompromistik, tanggap terhadap kepentingan pemda, dan berbagi kepentingan. Fungsi Dewan, akhirnya hanya sebagai alat legitimasi kepentingan kepala daerah dan pejabat birokrasi pemda, bukan mengarahkan, mengontrol, dan memberi alternatif kebijakan.
Keempat, tidak muncul kepemimpinan yang kontekstual dalam pengertian kalau sebagian besar penduduk di suatu daerah kabupaten/kota masyarakatnya miskin ternyata pemimpinya tidak secara serius memperjuangkan agar rakyatnya bebas dari persoalan kemiskinan. Demikian halnya jika terjadi pemerintahan itu korup penuh dengan pungli, ternyata pemimpinnya sama sekali tidak memiliki komitmen mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari pungli.
Kelima, keberadaan pemerintah daerah di mana pun juga dimaksudkan menghasilkan output. Output penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah berupa percepatan kesejahteraan masyarakat. Inovasi menjadi suatu keharusan yang mesti dilakukan agar keberadaan pemerintah menjadi bermakna di mata rakyatnya. Inovasi itu bisa dicapai antara lain melalui terobosan mengambil keputusan terutama yang terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ada kecenderungan pemerintah daerah sekarang tidak inovatif karena terjebak gaya pemerintahan yang monoton, lamban, cenderung rutinitas bahkan sebagian besar kepala daerah penuh rasa khawatir untuk melakukan eksperimen penyelenggaraan pemerintahan di alam otonomi. Banyak pejabat daerah berhadapan dengan hukum karena tindakannya dituduh telah melakukan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai melanggar undang-undang. Ini membuat pemerintah daerah takut berinovasi akibatnya tidak terjadi peningkatan kualitas pelayanan kepada rakyat, demikian juga percepatan kesejahteraan sulit tercapai.
Bertolak dari alasan tersebutlah sehingga segenap warga kota palu sangat berharap bahwa para kompetitor yang akan memenangkan kompetisi pemilihan wali kota palu nanti benar – benar yang memiliki visi kedepan yang mampu merubah kota palu menjadi kota yang terang, sehat, dan lebih cerdas........(iwan. Ambo, ST)

ISTILAH “ TOKOH “ dalam kerangka pikir Masyarakat

ISTILAH “ TOKOH “ dalam kerangka pikir Masyarakat

Asumsi masyarakat saat ini dalam mengejawantahkan istilah – istilah bahasa Indonesia semakin beragam. Sebut saja istilah yang akan kita jadikan sampel disini adalah kata “ TOKOH”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia definisi kata “ tokoh” salah satunya adalah orang yg terkemuka dan kenamaan (dl bidang politik, kebudayaan, dsb). Namun dalam perkembangannya masyarakat mulai mendefinisikan kata tersebut semakin luas, bahkan di ikuti dengan persyaratan – persyaratan khusus. Seperti misalnya, seseorang harus tepat menyandang kata Tokoh jika mampu memberikan sumbangsih ide, tenaga serta pikiran secara konsisten bagi perkembangan atau perubahan suatu kaum, kelompok, organisasi, dan sebagainya.Hal ini memang benar dan cukup realisistis. Padahal sebenarnya tidak ditemukan satu aturan khusus atau baku yang bersifat hukum serta aturan tertulis lainnya untuk menjadi tolak ukur seseorang di tasbihkan sebagai tokoh dalam kelompok masyarakat tertentu. Berbeda hal dengan pengangkatan seseorang untuk disebut sebagai PAHLAWAN. Karena untuk kategori PAHLAWAN sangat jelas persyaratannya oleh negara. Kita tinggalkan sementara istilah pahlawan karena bukan menjadi topik penulisan kali ini.
Kelompok atau organisasi lainnya yang ada di masyarakat sah – sah saja mengklaim atau mengangkat seseorang menjadi tokoh dikelompoknya. Sepanjang person tersebut pantas untuk menyandang kata itu dan tidak ada satu pihak manapun yang dirugikan atasan keputusan mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pihak atau organisasi lainnya yang berhak melakukan protes atas apa yang telah kelompok lain putuskan.
Istilah “ Tokoh “ dalam persepsi kehidupan masyarakat yang bermartabat saat ini tidak perlu lagi dipersoalkan. Seperti pada sebuah tulisan pada halaman pertama yang dilansir di sebuah harian lokal kota palu pada tanggal (02/02) yang mempertanyakan sebutan tokoh bagi seseorang dikelompoknya. Apalagi orang tersebut adalah salah satu yang mewakili kaum perempuan untuk maju menjadi calon walikota palu pada pilkada kota nanti. Tulisan itu semakin menggelitik ketika segala kegiatan orang yang dimaksud dihubung – hubungkan dengan kegiatan kampanye. Tentunya banyak alasan serta pertimbangan yang logis sehingga sebutan itu berani dimunculkan. Benar atau tidaknya kegiatan yang dia lakukan berbau kampanye, hanya masyrakatlah yang bisa menilainya. Sebab dari semua kegiatan yang orang tersebut lakukan sangat diterima dan mampu memberikan dampak perubahan yang sangat drastis di masyarakat kota palu. Sebut saja salah satunya adalah pengasapan gratis di pemukiman warga yang padat penduduk.
Jadi anggapan sementara, persoalan penokohan di kelompok masyarakat oleh masyarakat itu sendiri, bukanlah sebuah hal yang perlu dijadikan polemik. Sebab Sebagai orang – orang yang cerdas dan bijaksana, memberikan kesempatan kepada setiap warga masyarakat untuk maju berperan serta dalam menyumbangkan ide, tenaga serta pikiran bagi perkembangan dan perubahan suatu iklim bermasyarakat, perlu disambut dengan positif. Bukan dengan cara sebaliknya, Apalagi terselip kecurigaan – kecurigaan yang tidak mendasar. Intervensi yang tidak berlebihan akan penokohan seseorang dikelompoknya wajar saja, selama tidak mendiskreditkan tokoh tersebut apalagi mempertanyakan alasan kelompoknya sehingga memberikan sebutan itu. Sebab masyarakat akan menilai bahwa intervensi yang berlebihan itu terkadang akumulasi dari kepentingan orang – orang yang tidak terakomodir oleh sang tokoh. Masih banyak persoalan lain saat ini yang sebenarnya membutuhkan sorotan yang lebih tajam dan kritis, baik itu dari segi kebijakan atau aturan – aturan pemerintah.
Untuk menyimpulkan sementara, bahwa kata ataupun istilah “ tokoh “ adalah hal yang mutlak diberikan pada seseorang yang telah dan akan memberikan dampak perubahan bagi suatu komunitas. Tentunya semua itu harus terkawal secara konsisten. Sehingga penokohan bagi seseorang tidak lagi menjadi sorotan . dan semoga tokoh yang saat ini dipertanyakan dalam tulisan salah satu harian lokal kita, tidak menjadikan hal tersebut sebagai suatu hambatan dalam memperjuangkan hak – hak orang banyak. Sebab penilaian itu terletak pada masyarakat itu sendiri.


T E R I M A K A S I H