Rabu, 13 Mei 2009

pamong praja algojo pemda


Catatan Kecilku, 12 Mey 2009 / Iwan Ambo

Pamong Praja eksekusi tukang bakso surabaya

Arogansi Pihak Polisi Pamong Praja (11/05) kembali terjadi lagi. Kali ini pedagang kecil yang berada dikota Surabaya yang menanggung akibatnya. Peristiwa bermula dari penertiban kelompok pedagang kaki lima dikawasan terlarang kota Surabaya. Salah seorang ibu muda beserta anaknya masih balita menjadi korban dari penertiban tersebut. Salah seorang saksi mata mengatakan bahwa truck yang menganggkut anggota Pamong Praja melaju dan langsung menabrak sebuah gerobak bakso yang berada di tepi jalan yang di dalamnya terdapat seorang balita. Karena ketakutan, seorang ibu muda pemilik gerobak tersebut berusaha kabur menggendong anaknya yang telah terkena siraman air panas dari dalam sebuah belanga gerobak, Namun tertahan karena rambutnya sempat dijambak oleh seorang oknum anggota pamong praja. Akibat dari insiden tersebut bocah kecil tak berdosa yang bernama Siti Hairoh itu menderita luka bakar yang cukup parah. Menurut keterangan dari pihak Rumah Sakit bahwa balita tersebut menderita luka bakar dengan persentase 67 % dan saat ini masih dalam kondisi sangat kritis. Meskipun akhirnya pihak Polisi Pamong Praja yang diwakili ketua Sat. POL PP Utomo menyatakan bahwa akan bertanggung jawab atas seluruh pembiayaan rumah sakit korban karena kelalaian dari anggotanya. Jika ini disebut “Bentuk Kelalain” bagaimana pula bentuk Arogansi versi Pol PP? Atau bukan berarti ini dianggap sebuah kecelakaaan yang harus dilupakan begitu saja dan tidak perlu diperdebatkan. Perlu di catat Ini adalah bagian dari sejarah Indonesia yang semakin melupakan kodrat kebangkitannya.

Sebagai warga Negara Indonesia, saya begitu prihatin, sedih, Jengkel, dan kecewa menyaksikan berita tersebut melalui siaran sebuah televisi swasta. Inikah bentuk dan model aparat yang diharapkan Masyarakat? Tentunya bukan hanya saya yang berkata tidak, namun mungkin hampir seluruh orang Indonesia yang memiliki hati nurani juga menolak aparat – aparat pemerintah yang di desain seperti layakanya robot bernyawa. Bukan hanya kali ini mereka melakukan penertiban dengan cara – cara brutal, tapi sudah cukup banyak jika ingin dicatat.

Setiap kali saya menyaksikan penertiban pedagang kaki lima oleh Polisi Pamong Praja melalui TV dapat dipastikan selalu terjadi benturan fisik antara kedua belah pihak, dan naifnya hal tersebut juga selalu melibatkan aparat kepolisian sebagai pasukan pengaman. Lalu jika Aparat kepolisian berperan sebagai pihak yang mengamankan setiap bentrokan fisik, bagaimana dengan peran Polisi Pamong Praja? Apakah mereka berperan sebagai algojo untuk orang – orang miskin? Padahal jika ingin ditelusuri lebih dalam mereka juga adalah bagian dari kaum miskin Kota. Ada pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran saya tentang pola rekrutmen dan pendidikan Para pasukan Algojo Pemerintah Daerah ini. Jika dalam hal ini mereka mengaku sebagai bagian dari aparat Pemerintah Daerah, tentunya harus lebih mengedepankan pola pendekatan persuasive pada setiap operasi – opersainya. Meskipun memang harus diakui hal tersebut merupakan bagian dari pelaksanan tugas, tapi pola seperti itu tetap tidak dibenarkan dalam tata kehidupan bangsa Indonesia yang saat ini sangat menjunjung Nilai – nilai HAM seperti tertuang dalam beberapa pasal Amandemen terakhir UUD 1945.

Jika harus kita harus membandingkan, sangat bijaksana kalo mata kita tertuju pada Aparat TNI dan POLRI yang sedang bertugas di garis terdepan bangsa sebagai salah satu kelompok yang dibentuk untuk melindungi Negara dan Rakyat Indonesia. Idealnya kini mereka begitu berupaya meraih simpati masyrakat karena merasa bagian dari masyrakat Indonesia itu sendiri. Pola rekrutmen dan pendididkan mereka juga begitu ketat, keras, disiplin, dan totalitas serta loyalitas mereka tak perlu diragukan lagi. Tapi toh mereka mampu mengendepankan Pendekatan persuasive demi menghindari sesuatu yang akan merugikan masyarakat. Lalu bagaimana dengan POL PP kita? Apakah pola pendidikan dan rekrutmen mereka lebih sulit dibandingkan dengan TNI dan POLRI? Apakah Tingkat Loyalitas dan kedisiplinannya Dianggap melebihi Aparat – Aparat pemerintah lainnya? Jika memang hal tersebut benar? Saya menyarankan agar ada mutasi JOB antara TNI dan POL PP. TNI kita tugaskan didalam Kota karena mampu meraih simpati Masyarakat, dan POL PP kita tempatkan Di garis batas Negara misalnya Di Ambalat, Papua, atau Di Aceh, mungkin hal ini lebih singkron dengan karakter keras dan kasar POL PP…

Jika memang ini tidak mungkin terjadi, saya mengharapkan kepada Pihak POL PP diseluruh Indonesia, mari bercermin dengan hati nurani. Anda semua adalah milik rakyat, gaji dan seragam anda hasil dari pajak rakyat. Jangan sampai anggapan masyarakat yang menyebut bahwa anda sekalian adalah “ Kelompok Preman Yang Diseragamkan Oleh Pemerintah Daerah Untuk Menghakimi Para Kaum Jelata”, dibina karena dulunya sering membuat onar di wilayah tempat tinggal anda.

……WASPADAI PENGADILAN RAKYAT…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar